Selasa, 05 November 2013

Etika Bisnis

ETIKA BISNIS DAN CONTOH KASUS
1. Latar belakang
Ada sinyal kuat bahwa memang telah terjadi
distorsi etika dan pelanggaran kemanusiaan yang
hebat di Papua. Martabat manusia yang
seharusnya dijunjung tinggi, peradaban,
kebudayaan, sampai mata rantai penghidupan
jelas-jelas dilanggar. Ketika sistematika
kehidupan yang sangat drastis tersebut sudah
tidak bisa lagi ditahan, ledakan kemarahan
komunitas itu terjadi (Hutchins, M.J., et.al.,
2007).
Itu adalah fakta keteledoran pemerintah yang
sangat berat karena selama ini bersikap
underestimate kepada rakyat Papua. Gagasan
mendapatkan kesejahteraan dengan intensifikasi
industrialisasi nyata-nyata gagal.
Ironisnya, Freeport sebagai representasi
hegemoni peradaban industrialisasi modern yang
terkenal dengan implementasi konsep
menghargai heterogenitas dan diversitas
(Velasquez, M.G., 2006), rupa-rupanya, hanya
jargon belaka. Dua kali pekerja Freeport
melakukan aksi mogok kerja sejak Juli untuk
menuntut hak normatifnya soal diskriminasi gaji,
namun dua kali pula harus beradu otot.
1. Landasan Teori
Kata “etika” dan “etis” tidak selalu dipakai dalam
arti yang sama dan karena itu pula “etika bisnis”
bisa berbeda artinya. Etika sebagai praksis
berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral
sejauh dipraktekkan atau justru tidak
dipraktekkan, walaupun seharusnya
dipraktekkan. Sedangkanetis, merupakansifat
daritindakan yang sesuaidengan etika. Peranan
Etika dalam Bisnis : Menurut Richard De George,
bila perusahaan ingin sukses/berhasil
memerlukan 3 hal pokok yaitu :
1.Produk yang baik
2.Managemen yang baik
3. Memiliki Etika Selama perusahaan memiliki
produk yang berkualitas dan berguna untuk
masyarakat disamping itu dikelola dengan
manajemen yang tepat dibidang produksi,
finansial, sumberdaya manusia dan lain-lain
tetapi tidak mempunyai etika, maka kekurangan
ini cepat atau lambat akan menjadi batu
sandungan bagi perusahaan tsb. Bisnis
merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam
masyarakat modern. Tetapi kalau merupakan
fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak
dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang
selalu harus diterima dalam pergaulan sosial,
termasuk juga aturan-aturan moral. Mengapa
bisnis harus berlaku etis ? Tekanan kalimat ini
ada pada kata “harus”. Dengan kata lain,
mengapa bisnis tidak bebas untuk berlaku etis
atau tidak? Tentu saja secara faktual, telah
berulang kali terjadi hal-hal yang tidak etis
dalam kegiatan bisnis, dan hal ini tidak perlu
disangkal, tetapi juga tidak perlu menjadi fokus
perhatian kita. Pertanyaannya bukan tentang
kenyataan faktual, melainkan tentang
normativitas : seharusnya bagaimana dan apa
yang menjadi dasar untuk keharusan itu.
Mengapa bisnis harus berlaku etis, sebetulnya
sama dengan bertanya mengapa manusia pada
umumnya harus berlaku etis. Bisnis disini hanya
merupakan suatu bidang khusus dari kondisi
manusia yang umum. Jawabannya ada tiga
yaitu :
Tuhan melalui agama/
kepercayaan yang dianut,
diharapkan setiap pebisnis akan
dibimbing oleh iman
kepercayaannya, dan menjadi
tugas agama mengajak para
pemeluknya untuk tetap
berpegang pada motivasi moral.
Kontrak Sosial, umat manusia
seolah-olah pernah mengadakan
kontrak yang mewajibkan setiap
anggotanya untuk berpegang
pada norma-norma moral, dan
kontrak ini mengikat kita sebagai
manusia, sehingga tidak ada
seorangpun yang bisa
melepaskan diri daripadanya.
Keutamaan, Menurut Plato dan
Aristoteles, manusia harus
melakukan yang baik, justru
karena hal itu baik. Yang baik
mempunyai nilai intrinsik,
artinya, yang baik adalah baik
karena dirinya sendiri.
Keutamaan sebagai disposisi
tetap untuk melakukan yang
baik, adalah penyempurnaan
tertinggi dari kodrat manusia.
Manusia yang berlaku etis adalah
baik begitu saja, baik secara
menyeluruh, bukan menurut
aspek tertentu saja.
1. Pengertian MNC (Multinational Corporation)
Multinational Corporations (MNCs), term ini
memilki beberapa definisi, yang pertama
menandakan adanya internasionalisasi
managemen dan kepemilikan saham tidak lagi
berperan. Kedua, sebagian besar aktivitas MNCs
telah melintasi batas kedaulatan negara. MNCs,
tidak diragukan lagi merupakan aktor non-negara
yang memiliki peran sangat besar dalam dunia
internasional dan juga sangat
kontroversial. Jadi dapat disimpulkan,
bahwa MNC adalah sebuah perusahaan
internasional atau transnasional yang berkantor
pusat di satu negara tetapi kantor cabang di
berbagai negara maju dan berkembang.
Contohnya termasuk General Motors, Coca-Cola,
Firestone, Philips, Volkswagen, British Petroleum,
Exxon, Freeport dan ITT. Sebuah perusahaan
akan menjadi perusahaan multinasional
berdasarkan keuntungan untuk mendirikan
produksi dan kegiatan lainnya di lokasi asing.
1. Ciri-ciri MNC
Perusahaan harus membuat
keputusan-keputusan mengenai
pendapatan proyek dalam
berbagai jenis valas yang akan
mempengaruhi berbagai operasi
perusahannya.
MNC mengambil keputusan-
keputusan berkaitan dengan
strategi penetrasi pasar,
pemilihan operasional di luar
negeri serta aktivitas produksi,
marketing dan keuangan yang
paling efisien bagi perusahaan
secara keseluruhan.
1. Perumusan Masalah
PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan
perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan
Copper & Gold Inc. . PTFI menambang,
memproses dan melakukan eksplorasi terhadap
bijih yang mengandung tembaga, emas dan
perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di
Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia.
Kami memasarkan konsentrat yang mengandung
tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru
dunia.
PT Freeport Indonesia merupakan jenis
perusahaan multinasional (MNC),yaitu
perusahaan internasional atau transnasional
yang berkantor pusat di satu negara tetapi
kantor cabang di berbagai negara maju dan
berkembang..
Contoh kasus pelanggaran etika yang dilakukan
oleh PT. Freeport Indonesia :
Mogoknya hampir seluruh pekerja
PT Freeport Indonesia (FI)
tersebut disebabkan perbedaan
indeks standar gaji yang
diterapkan oleh manajemen pada
operasional Freeport di seluruh
dunia. Pekerja Freeport di
Indonesia diketahui mendapatkan
gaji lebih rendah daripada
pekerja Freeport di negara lain
untuk level jabatan yang sama.
Gaji sekarang per jam USD 1,5–
USD 3. Padahal, bandingan gaji
di negara lain mencapai USD 15–
USD 35 per jam. Sejauh ini,
perundingannya masih menemui
jalan buntu. Manajemen Freeport
bersikeras menolak tuntutan
pekerja, entah apa dasar
pertimbangannya.
Biaya CSR kepada sedikit rakyat
Papua yang digembor-gemborkan
itu pun tidak seberapa karena
tidak mencapai 1 persen
keuntungan bersih PT FI. Malah
rakyat Papua membayar lebih
mahal karena harus menanggung
akibat berupa kerusakan alam
serta punahnya habitat dan
vegetasi Papua yang tidak
ternilai itu. Biaya reklamasi
tersebut tidak akan bisa
ditanggung generasi Papua
sampai tujuh turunan. Selain
bertentangan dengan PP 76/2008
tentang Kewajiban Rehabilitasi
dan Reklamasi Hutan, telah
terjadi bukti paradoksal sikap
Freeport (Davis, G.F., et.al.,
2006).
Kestabilan siklus operasional
Freeport, diakui atau tidak,
adalah barometer penting
kestabilan politik koloni Papua.
Induksi ekonomi yang terjadi dari
berputarnya mesin anak
korporasi raksasa Freeport-
McMoran tersebut di kawasan
Papua memiliki magnitude luar
biasa terhadap pergerakan
ekonomi kawasan, nasional,
bahkan global.
Sebagai perusahaan berlabel MNC (multinational
company) yang otomatis berkelas dunia, apalagi
umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja
adalah bagian dari aset perusahaan. Menjaga
hubungan baik dengan pekerja adalah suatu
keharusan. Sebab, di situlah terjadi hubungan
mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan
membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar
produksi semakin baik, sementara pekerja
membutuhkan komitmen manajemen dalam hal
pemberian gaji yang layak.
Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab,
hadirnya MNC di Indonesia terbukti tidak
memberikan teladan untuk menghindari
perselisihan soal normatif yang sangat
mendasar. Kebijakan dengan memberikan
diskresi luar biasa kepada PT FI, privilege
berlebihan, ternyata sia-sia.
Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PT
FI diperpanjang kendati bertentangan dengan UU
Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan dan sudah diubah dengan
UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Alasan yang
dikemukakan hanya klasik, untuk menambah
kocek negara. Padahal, tidak terbukti secara
signifikan sumbangan PT FI benar-benar untuk
negara. Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya,
sumbangan Freeport untuk negara Amerika,
bukan Indonesia.
Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa
karena PT FI berizin penambangan tembaga,
namun mendapat bahan mineral lain, seperti
emas, perak, dan konon uranium. Bahan-bahan
itu dibawa langsung ke luar negeri dan tidak
mengalami pengolahan untuk meningkatkan
value di Indonesia. Ironisnya, PT FI bahkan tidak
listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi
Freeport-McMoran sebagai induknya.
Keuntungan berlipat justru didapatkan oleh PT FI
dengan hanya sedikit memberikan pajak PNBP
kepada Indonesia atau sekadar PPh badan dan
pekerja lokal serta beberapa tenaga kerja asing
(TKA). Optimis penulis, karena PT FI memiliki
pesawat dan lapangan terbang sendiri, jumlah
pasti TKA itu tidak akan bisa diketahui oleh
pihak imigrasi.
Kasus PT. Freeport Indonesia ditinjau dari
berbagai teori etika bisnis :
Teori etika utilitarianisme
Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti
“bermanfaat”.
Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik
jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus
menyangkut bukan saja satu dua orang
melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Berdasarkan teori utilitarianisme, PT.Freeport
Indonesia dalam hal ini sangat bertentangan
karena keuntungan yang di dapat tidak
digunakan untuk mensejahterakan masyarakat
sekitar, melainkan untuk Negara Amerika.
Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali
teori hak ini adalah pendekatan yang paling
banyak dipakai untuk mengevaluasi baik
buruknya suatu perbuatan atau perilaku.
Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori
deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban.
Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang
logam yang sama.
Hak didasarkan atas martabat manusia dan
martabat semua manusia itu sama. Karena itu
hak sangat cocok dengan suasana pemikiran
demokratis.
Dalam kasus ini, PT Freeport Indonesia sangat
tidak etis dimana kewajiban terhadap para
karyawan tidak terpenuhi karena gaji yang
diterima tidak layak dibandingkan dengan pekerja
Freeport di Negara lain. Padahal PT Freeport
Indonesia merupakan tambang emas dengan
kualitas emas terbaik di dunia.
1. Kesimpulan
Dari pembahasan dalam bab sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa PT Freeport Indonesia telah
melanggar etika bisnis dimana, upah yang
dibayar kepada para pekerja dianggap tidak
layak dan juga telah melanggar UU Nomor
11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan yang sudah diubah dengan UU
Nomor 4/2009 tentang Minerba. Karena PT FI
berizin penambangan tembaga, namun mendapat
bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan
konon uranium. Selain bertentangan dengan PP
76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan
Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal
sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar