Kamis, 27 Januari 2011

Horizontal Marketing and Communication


Kita pasti sudah mengetahui bahwa sekarang kebutuhan komunikasi sudah hampir menjadi kebutuhan primer. Andai saja bisa menambahkan, mungkin sekarang ada empat kebutuhan primer, sandang, pangan, papan, dan satu lagi komunikasi. Media komunikasi pun sudah sangat banyak ber-evolusi kalo tidak boleh dibilang ber-revolusi. Sedemikian dahsyatnya revolusi komunikasi ini (tentu saja dengan dukungan teknologi), tidak semua fase bisa kita cicipi.

Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu (awal tahun 2000-an, walapun rasanya belum sampai 5 tahun yang lalu), teknologi data transfer sekelas GPRS sudah sangat mumpuni, dan masih sangat jarang yang menggunakannya. Tidak sampai 3 tahun, sudah muncul teknologi transfer data yang disebut-sebut orang 2,5G alias EDGE. Belum sampai 2 tahun kemudian muncul teknologi 3G yang sudah membawa- bawa kemampuan video-call. Aksi telepon sambil tatap muka ini membawa dimensi baru dalam kegiatan perkomunikasian.
Toh, nasibnya sepertinya tidak lebih baik dari EDGE, karena tidak lama muncul lagi teknologi 3,5G dengan nama lain HSDPA/HSUPA yang sepertinya juga umurnya tidak lama karena teknologi 4G alias WIMAX sudah menanti diimplementasikan. WIMAX yang menurut perhitungan memberikan proporsi cost-benefit yang lebih optimal akan dengan segera membuat perangkat 3G menjadi obsolete. Perlu impairment? Mungkin saja, tapi sementara ini kita nikmati saja dulu layanan 3G dan 3,5G sebelum waktunya habis.
Kembali ke topik permasalahan, komunikasi dengan dukungan teknologi itu pula lah yang mengakibatkan pergeseran pada pola pendekatan pribadi maupun perusahaan. Public Relations konon sekarang memiliki kekuatan yang lebih dahsyat ketimbang marketing. Seminar mengenai “how to” nya mensiasati public relation agar bukan hanya menjadi sidekick dari marketing tetapi menjadi jagoan baru sudah dan masih sering diadakan. Aktualisasi diri menjadi senjata paling ampuh untuk lebih mendekatkan diri pada lingkungan. Metode self-selling atau corporate-selling melalui media-media yang ter-target akan memberikan feedback yang lebih baik dan tepat sasaran.
Lalu apa hubungannya dengan horizontal marketing? Sebenarnya terminologi horizontal marketing sendiri lebih didasari pada kenyataan bahwa sekarang ini dunia sudah semakin rata. Mengapa rata? Karena pada kenyataannya dengan dibantu media sosialisasi seperti facebook, twitter, multiply, yuwie dan lain-lainnya, hampir tidak ada lagi batasan komunikasi yang terkait dengan faktor geografis. Walaupun bukan hal yang baru, karena media chatting sudah ada sejak awal tahun 1990-an dengan hadirnya mIRC dan ICQ, toh dengan hadirnya media semacam facebook yang mampu memberikan pengalaman interaktif yang lebih baik antara satu anggota dan lainnya, mampu lebih me”rata”kan dunia.

Dalam satu akun facebook misalnya, bisa saja seseorang di Indonesia memiliki sejumlah teman di berbagai negara, berbagi pengalaman, dan dengan mediasi lain bertukar foto, file, dll. Nah itu baru dari akun facebook saja, seandainya dia juga memiliki akun twitter dengan teman yang berbeda lagi? Sejauh mana sebenarnya multipliernya effect-nya? Hal ini sulit diukur, tapi pada kenyataannya mailing-list semakin banyak bermunculan, forum-forum di internet penuh sesak sengan berbagai topik diskusi, istilahnya mau diskusi tentang apapun, wadahnya tersedia. Bahkan sebagian forum seperti kafemotor.com, seringkali dilirik oleh pihak ATPM kendaraan roda dua untuk mengumpulkan berbagai informasi pelanggan yang bisa menjadi dasar perbaikan produk mereka.

Jadi kalau mau lebih simple, tanpa ingin terpaku pada definisi horizontal marketing itu sendiri, sebenarnya pendekatan horizontal marketing lebih kepada bagaimana suatu pihak mampu mengkomunikasikan diri ataupun produknya secara luas dan bagaimana menindaklanjuti umpan balik dari komunikasi itu. target komunikasi juga sangat tergantung kepada jenis produk maupun segmen yang disasar.
Contoh konkritnya adalah Harley-Davidson, perusahaan manufaktur sepeda motor yang dari namanya saja sudah terasa hawa eksklusifnya. Sepeda motor berharga ratusan juta rupiah ini memiliki ribuan penggemar fanatik yang tersebar di seluruh dunia. Bagaimana mereka bisa menjadi penggemar fanatik? Karena pihak Harley-Davidson sangat memperhatikan feedback yang mereka berikan, HD sangat concern dengan apa yang diinginkan pelanggannya. HD bahkan ikut membina dan memberi dukungan penuh pada klub-klub motor HD di seluruh dunia. Selain membangkitkan fanatisme, kepemilikan atas sebuah sepeda motor HD memberikan rasa aktualisasi diri yang tidak ada duanya. Mengapa ? Karena mereka merasa bahwa sepeda motor yang mereka miliki seolah-olah memang dibuat hanya untuk mereka. Eksklusif kan ?
Dan tentunya fanatisme ini memang berakar dari HD sendiri yang memberikan peluang yang sedemikian besar pada pelanggannya untuk mengkustomisasi sepeda motornya. Highly customized bike ini kemudian diproduksi massal setelah mendapat “lampu hijau” dari para pelanggannya. Disinilah horizontal marketing sangat berperan, pelanggan terlibat aktif mulai dari perencanaan, proses produksi, finishing, bahkan mungkin sampai ke distribusi produk.

Pada saat produk sampai ke tangan pelanggan, hampir tidak ada komplain dari pelanggan karena sejak awal mereka memang sudah dilibatkan.
Tentu metode horizontal marketing ini tidak serta merta bisa diterapkan ke seluruh industri manufaktur, karena tidak semua cocok menerapkan metode keterlibatan pelanggan seperti itu. Untuk industri manufaktur consumer goods, tetap lebih cocok menerapkan konsep vertical marketing. Mereka melakukan proses produksi secara end to end dari mulai R&D sampai distribusi, baru kemudian melakukan promosi yang diperlukan untuk mengedukasi pelanggan, bisa melalui media above the line maupun below the line.

Pada akhirnya, penerapan horizontal marketing atau vertical marketing akan kembali memunculkan perdebatan mengenai cost-benefitnya. Tetapi metode aktualisasi diri sebagaimana halnya disinggung diatas tetap dapat diterapkan apapun metode marketing yang diterapkan. Era web 2.0 bukan hanya di depan mata, tetapi sudah terjadi. Ratusan ribu orang di dunia sudah memiliki blog pribadi, lalu mengapa hanya segelintir perusahaan yang melirik corporate blog sebagai media aktualisasi diri ? Blog memberikan keleluasaan bagi perusahaan untuk bersentuhan dengan lingkungannya melalui tata bahasa yang tidak harus formal.
Membangun citra perusahaan tidak melulu harus melalui bahasa formal/bahasa dewa yang justru menimbulkan kesulitan untuk menyamakan persepsi.
 
Jadi mau horizontal atau vertical, mau individu atau institusi, mau perorangan atau perusahaan, mau sosial atau komersial, pentingnya aktualisasi diri melalui komunikasi dengan media apapun tetap fundamental.